Senin, 16 Agustus 2010

Pesan Apostolik

Mode Perang---------------------------------------Home

Saat itu saya berusia 17 tahun, siswa SLTA, yang sedang duduk di bangku saat ada seorang siswa dari kelas lain yang tubuhnya hampir duakali tubuh saya datang dengan sangat marah masuk ke ruang kelas. Dengan berlari dia menuju ke tempat dimana saya duduk, menyengkeram leher saya dan mulai memukul muka saya.
Ada siswa lain yang telah menuliskan kata-kata penghinaan di buku catatannya dengan memberikan nama saya. Jelas ada sesuatu yang sedang terjadi dalam kehidupan si Tubuh Besar ini yang tidak disadari oleh orang lain. Apa pun frustrasi yang sudah menumpuk di dalam hatinya, untuk melampiaskan harus ditumpahkan ke orang terakhir yang mengganggunya, dan sasarannya ialah saya.
Saat itu tinggi badan saya hampir enam kaki dengan berat sekitar 70 kg. Saya bukan tipe berangasan dan berusaha memakai cara-cara pintar untuk menghindari konflik di antara teman-teman. Walaupun begitu, tidak peduli apa yang dikatakan tentang filosofi orang tentang kebrutalan secara fisik, saat itu betul-betul terjadi dalam diri seseorang, khususnya dengan orang yang sedang marah besar, semua filosofi itu akan dilupakan. Si Tubuh Besar benar-benar sedang haus darah. Saya cepat menyadari kalau ingin menghentikan serangan ini, saya harus memutuskan untuk menyerang balik.
Begitu saya menerima tantangan ini, dengan mengambil keputusan tidak ada pilihan lain selain berkelahi, ada sesuatu yang mengherankan terjadi di dalam diri saya. Bukannya rasa takut saya yang membesar, tetapi justru hilang. Enersi yang telah dipakai untuk mengatasi rasa takut tiba-tiba dikerahkan untuk mempertahankan diri. Di saat itu, tanpa disangka-sangka, saya menemukan dimensi jiwa saya yang lain: mode perang.
Sejujurnya, saya tidak pernah tahu saya punya mode perang, tetapi saat si Tubuh Besar meraih saya kembali untuk melancarkan ‘ronde keduanya’, insting perang saya mulai bereaksi. Kalau saya tidak melawan akan mudah bagi dia untuk melemparkan saya, tetapi sekarang saya cepat berdiri tegak dan mendaratkan tinju dengan telak ke hidungnya. Dia jatuh terjerembab selangkah ke belakang. Saya memukulnya kembali dua tiga kali kemudian melompat sementara dia masih sempoyongan, dan menjatuhkannya ke lantai. Saya akui jatuhnya itu mungkin karena dia tersandung kursi dan bukan karena pukulan saya, tetapi itu tidak jadi masalah. Saat kepalanya membentur lantai, dia menyadari kalau ada anak laki-laki Sisilia berbobot 70 kg yang menghimpitnya.
Di saat itu teman-teman menarik saya dari tubuhnya. Darah mengucur dari hidungnya, dan teman-temannya menyebut saya seorang penyiksa. Saat guru memasuki ruang, jelas kelihatan saya seperti penyerang dan si Tubuh Besar yang menjadi korban, terkapar tidak berdaya karena serangan saya yang sepertinya tidak berbelas kasihan.
Saya hampir saja tidak lulus karena insiden tersebut, tetapi saya tidak peduli. Sesuatu di dalam saya telah berubah. Saya menemukan mode perang. Saya tetap tidak mencari-cari masalah, tetapi saya tidak takut lagi.

Kepasifan itu Bukan Damai
Mengapa saya menceritakan kisah ini? Pertama-mata, itu bukan karena saya berpikir kekerasan fisik itu sebagai jawaban akan permasalahan kita. Jika kita tidak di militer atau penegak hukum, kekerasan fisik itu bukan jawaban Allah terhadap kesulitan yang kita hadapi. Saya hubungkan insiden ini untuk menekankan ada sesuatu yang disebut dengan ‘mode perang’ yang ada di setiap kita. Kita bisa saja menghadapi sesuatu yang lebih besar dari kita – mungkin saja serangan dosa atau roh jahat, atau mungkin saja anak-anak yang menjauh dari Allah, atau komunitas dan gereja kita mengalami penurunan spiritual – dan sampai ke suatu keadaan kita tidak bisa menerima lagi keadaan untuk hidup di bawah penindasan! Di saat itulah kita berkata ‘cukup!’ dan Allah akan mulai mengaktifkan mode perang di dalam diri kita.
Mode pemikiran ini bukanlah sesuatu yang baik dari dirinya sendiri. Tetapi saat kita menyerahkan hati kita, pikiran dan tubuh kita kepada Allah, maka kita bisa menyerahkan aspek jiwa ini, dan akan menemukan anugerah pengurapan Allah kepada kita untuk melakukan peperangan iman.
Faktanya adalah, kita saat ini sedang ada dalam pertempuran tingkatan global. Kita sedang memerangi pengaruh amoral dan para pemimpin jahat di budaya kita; dan di tingkatan internasional menghadapi terorisme ‘agama’ dan manipulasi. Siapa yang akan melindungi masa depan anak-anak kita? Itu terserah kepada kita untuk mau mempertahankan komunitas kita, untuk memperkuat nilai-nilai moral dan membawa perubahan penebusan kepada dunia kita, atau tidak melakukan apa-apa.
Sekali lagi, kita tidak sedang membicarakan peperangan fisik atau daging – Paulus mengatakan senjata peperangan kita bukan yang kelihatan, tetapi dahsyat! (lihat 2 Kor. 10:4.) Kita harus mengangkat ‘pedang Roh, yaitu firman Allah’ (Ef. 6:17). Peperangan kebenaran itu bukanlah tahapan lanjutan dari perkembangan rohani; tetapi itu sesungguhnya yang dasar. Setiap orang perlu belajar bagaimana berdoa, mengambil otoritas rohani, dan mengatakan Firman Allah dengan iman. Kita tidak bisa diintimidasi oleh ancaman-ancaman musuh sewaktu kita berdiri melawan kegelapan yang mendatangi.
Kita bisa lihat, terlalu banyak dari kita yang tinggal dan menerima damai yang palsu, sebagai hasil kompromi dan ketakutan. Allah ingin kita memiliki damai yang benar, yang datangnya dari iman dalam Kristus dan menang atas kejahatan.
Hari ini banyak yang terbebani oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Bagian dari beban ini karena hati kita yang tidak teguh. Kita butuh keluar dari keengganan untuk menghadapi musuh-musuh kita. Berhenti untuk mencemaskan diri agar tidak mengusarkan iblis sehingga kita sendiri yang gusar – marahlah, tetapi jangan berdosa! Ada waktu yang syah untuk ’melakukan pertempuran’ (Pkhb. 3:8) dan saat ini kita sedang ada di dalamnya.
Semakin cepat kita menekan tombol mode perang akan semakin cepat kita menerima moral yang dibutuhkan untuk mengalahkan penindasan pribadi dan mengokohkan kemenangan. Begitu kita berubah, kita mulai bisa mempengaruhi dunia di sekitar kita. Jadi singkirkan kepasifan kita dan ambil otoritas atas rasa mengasihani diri-sendiri. Allah akan memberi anugerah kita untuk menang.
Baca juga penyingkapan Yesaya mengenai Tuhan. Yesaya menuliskan, ‘TUHAN keluar berperang seperti pahlawan, seperti orang perang Ia membangkitkan semangat-Nya untuk bertempur; Ia bertempik sorak, ya, Ia memekik, terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepahlawanan-Nya.’ (Yes. 42:13). Tuhan itu pendekar/pahlawan dan Dia rindu kita menjadi seorang pendekar/pahlawan juga. Rontokkan beban-beban kita dan kembali ke Firman Allah. Jika kita terjatuh, bangkit kembali. Sekaranglah waktunya untuk mengaktifkan kembali mode perang kita.
Tuhan, saya menyerahkan diri kepada pengurapan-Mu untuk berperang. Saya tolak untuk menjadi seorang pengecut atau tinggal dalam damai palsu yang didasarkan atas kompromi. Saya tunduk untuk menjadi penyerang di dalam Engkau, yang akan menguduskan seorang penyerang dalam diri saya. Dalam nama Yesus, Amin.
Disadur bebas oleh Iskak Hutomo dari The War Mode oleh Fancis Frangipane

Tidak ada komentar:

Posting Komentar